Doa-doa Nabi Ibrahim banyak diabadikan al-Quran, sebagian kisah hidupnya dirangkum dalam rangkaian manasik haji yang ditunaikan umat Nabi Muhammad saw. Termasuk di antaranya, perintah berkurban, tak bisa dipisahkan dari cerita pengorbanan heroik yang penuh petualangan batin yang dialami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm.
Dalam pertemuan yang jarang terjadi dengan putranya, Ibrahim mendapatkan ujian berat. Ujian yang menentukan identitas, menaikkan derajatnya sebagai orang yang mencintai Allah. Kecintaan yang tulus yang sudah pasti akan sanggup mengorbankan apa saja atau siapa saja, tak terkecuali anak kesayangannya sekalipun.
Nabi Ibrahim sebagai ayah, beliau mengorbankan segala rasa. Rasa rindunya pada sang anak. Rasa sayangnya. Segala rasa yang pasti akan dipahami oleh setiap ayah.
Nabi Ismail sebagai anak, beliau berkorban dengan sepenuh jiwa. Karena beliau juga termasuk aktor yang terlibat langsung. Ismail paham ini bukan kehendak ayahnya. Ismail paham ada Dzat yang kekuasaannya jauh lebih besar dari ayahnya. Ismail paham bahwa ayahnya hanya menunaikan perintah. Ismail paham bahwa ayahnya juga sedang menekan segala rasa kepadanya. Ismail paham bahwa cinta ayahnya kepadanya tak diragukan. Ismail paham karena ia diajarkan bahwa inilah saatnya mempersembahkan sebuah pengorbanan. Kesempatan yang mungkin takkan terulang kembali.
Hajar, Ibu Ismail dan Istri Ibrahim. Beliau sudah pasti berkorban dengan sepenuh jiwa dan segenap rasa. Meski secara eksplisit jarang tereksplorasi dalam kisah kurban, tapi mari kita visualisasikan kondisi perempuan shalihah ini.
Pengorbanannya sudah terlihat ketika dengan penuh qanaah menerima keputusan ditinggalkan oleh suaminya. Ia bersama anaknya harus hidup sebatang kara di suatu lembah yang tiada kehidupan di sana. Ia pun paham ini sebuah misi dari Tuhan yang mengamanahkan seorang anak lelaki kepadanya dan suaminya. Maka ketika ada titah penyembelihan, ia pun segera paham. Itu bukan sembarang ujian. Berat, namun ia paham dan tahu apa yang harus dilakukan. Memperkuat diri dan suami serta anaknya. Bisa jadi beliau tak terlibat langsung. Tapi didikan akidahnya melahirkan seorang Ismail yang langsung siap mengorbankan jiwanya. Didikan suaminya membekas dalam pada karakternya.
Di hari-hari baik bulan Dzulhijjah ini, kita belajar berkorban dari keluarga Nabi Ibrahim. Mengorbankan apa saja yang Allah karuniakan dan amanahkan kepada kita. Karena esensi pengorbanan bukanlah darah atau daging, tapi ketakwaan. Seseorang akan dengan ringan mengorbankan waktu, tenaga, jiwa, raga, harta dan apa saja untuk Allah. Dan karena ia tak tahu mana dari segala pengorbanan itu yang akan mengekalkan namanya di sisi Allah.
Bacalah surah Asy-Syu’ara: 84 ,”dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”. Allah kabulkan doa Nabi Ibrahim ini, namanya kekal selalu dibaca oleh bibir-bibir orang shalih; minimalnya diakhir setiap tahiyyat dalam shalat mereka.
Di bulan yang baik ini, ingatlah mereka yang masih terkungkung kezhaliman, terpenjara oleh keterbatasan, terjerembab dalam jebakan stigma-stigma negatif, ternistakan oleh kepongahan para penjajah. Harta, tanah terampas tanpa belas kasih. Orang-orang tercinta tercerai berai oleh nafsu para penjajah. Tak jarang anak-anak tak lagi mengenal dan menjumpai ayahnya. Tak sedikit para perempuan yang menjadi kepala keluarga. Itulah penggalan kisah pengorbanan rakyat Palestina yang hidup di alam serba modern dengan kondisi jauh dari yang selayaknya sebagai manusia yang punya hak merdeka dan berdaulat.
Jadilah Ibrahim, atau Ismail, atau Hajar. Bantulah mereka dengan apa saja. Harta yang besar kecilnya relatif. Waktu, yang nilainya juga relatif. Jiwa dan raga yang sesungguhnya hanya sebagai tempat bersemayamnya ruh, cinta dan pengorbanan. Karena jika tidak demikian, raga menjadi hina tatkala dipenuhi amarah, murka, kezhaliman dan kelalaian dalam mengemban amanah Allah di dunia.
Catatan Keberkahan 66
Jakarta, 27.08.2017
SAIFUL BAHRI