RENUNGAN NUZULUL QUR’AN

SENTUHAN-SENTUHAN BERKAH*

Dr. H. Saiful Bahri, M.A**

Renungan Kemuliaan

Sungguh, seseorang yang menghamba pada Yang Maha Mulia maka akan ikut menjadi mulia. Karena Yang Maha Mulia telah memberikan kemuliaan-Nya dengan berkah kasih sayang dan cinta serta ampunan-Nya terhadap kesalahan dan kekhilafan.

Di awal bulan istimewa-Nya ini, Allah menurunkan kasih sayang untuk para pemburu cinta-Nya. Saat sepuluh hari pertama telah kita lewati dan seandainya Dia mengumumkan daftar nama orang-orang yang dirahmati-Nya, apakah kita mampu mencari nama kita termasuk di dalamnya?

Kemudian, ketika kita memasuki peluang hari berikutnya untuk memburu ampunannya, mencari maghfirah-Nya. Karena di sepertiga kedua ini Allah melapangkan dan melebarkan pintu maaf dan ampunan-Nya.

Wahai sang pemburu kebaikan terimalah. Wahai para pelaku keburukan berhentilah…

Seruan langit membahana memenuhi rongga-rongga hati orang-orang yang sadar akan peluang. Peluang untuk mengejar ketertinggalan. Peluang untuk memperbaiki catatan prestasi. Peluang untuk sebuah pertemuan dengan Pemilik segala kemurahan dan kemudahan, Sang Penyayang makhluk-Nya meski telah berkali-kali mengkhianati dan mendurhakai-Nya.

Seandainya Allah mengumumkan list nama-nama yang diampuni oleh-Nya, pada akhir hari ke dua puluh nanti, apakah kita bisa yakin bahwa nama kita benar-benar tertera di sana?

Mungkin tiada yang berani menjawabnya. Karena tiada pula ada yang bisa memastikan hal tersebut.

Maka, nantinya pada saat kita memasuki etape terakhir kursus pembekalan ini, ada daya juang yang mesti lebih kita kerahkan lagi. Ini merupakan rute tersulit yang di dalamnya –kadang– orang telah kehilangan konsentrasi. Sebagian justru jauh berpikir dan berorientasi duniawi ke depan, bagaimana mempersiapkan dan memeriahkan suasana lebaran dan jauh memikirkan berbagai keadaan setelah selesai berpuasa. Padahal Ramadan belum benar-benar pergi dan meninggalkan kita.

Sepuluh malam terakhir ini merupakan babak final yang menjadi akibat dari dua level sebelumnya.

Rahmah dan kasih sayang Allah membawa ampunan untuk para hamba-Nya. Seandainya ia merasa belum maksimal merasakannya serta memburunya di sepertiga pertama, ia akan memburu ampunan tersebut. Dan ampunan tersebutlah yang nantinya menghantarkan menuju pembebasan dari kemurkaan-Nya yang dahsyat. Pembebasan dari api neraka dan murka yang tiada seorang pun sanggup menghalangi dan melindungi diri darinya.

Sentuhan Keberkahan

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan”. (QS. 97:1)

Allah menurunkan Al Qur’an pada sebuah malam yang mulia yang “… lebih baik dari seribu bulan” . (QS. 97:3)

Mengapa Allah begitu mengistimewakan malam itu. Malam yang hanya sebagian saja dari waktunya dijadikan Allah sebagai fasilitator turunnya Kalam-kalam suci itu dari lauh mahfuzh-Nya.

Malam yang hanya bersentuhan sesaat saja dengan Al Qur’an, nilainya digandakan Allah lebih baik dari 30.000 malam yang tidak bersentuhan dengan lailatul qadr tersebut.

Hati mana yang tak berbinar meraih jutaan rahmat dan cinta yang tak terbilang. Harapan ampunan yang tak tersia-siakan. Permohonan lindungan dari kemurkaan yang dikabulkan.

Ambil contoh sederhana. Al Qur’an, terdiri dari 318.304 huruf. Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa satu huruf mendapatkan sepuluh kebaikan. Disamping itu amal baik dibulan ini dilipatkan menjadi 70 kali lipat. Jika kita mengkhatamkan–sekali saja–bacaan Al Qur’an di bulan ini, maka kita akan mendapatkan angka fantastis: 222.812.800 kebaikan. Itu belum hitungan huruf-huruf yang dobel. Belum lagi kalau kita mau mentadabburinya. Belum lagi kalau kita baca dalan shalat. Dan seterusnya. Sedang shalat wajib kita selama sebulan ini bila kita hitung secara matematis, juga akan menghasilkan angka yang cukup besar:10.500.

Dan di dalam al-Qur’an malam tersebut dikenal dengan malam lailatul qadar yang dinali dan kadar kualitasnya, “lebih baik dari seribu bulan”. Seberapa lebihnya tak diberikan penjelasan lebih lanjut oleh Allah. Mungkin bagi seseorang ia akan mendapat kelebihan kebaikan setara dengan seribu lima ratus bulan. Sebagian lagi mungkin akan mendapatkan kesetaraan dengan dua ribu bulan. Bahkan ada yang mendapatkan kelebihan-kelebihan yang melebihi itu semua. Itulah malam misteri yang penuh kebaikan.

Betapa beruntungnya malam itu. Lebih beruntung lagi, bagi mereka yang menggunakan kesempatan ini. Bagi para pemburu kebaikan seribu bulan, pasti dijadikan sebuah peluang emas untuk menutupi keterbatasan dua etape sebelumnya di 20 hari yang telah lewat.

Lantas bagaimana dengan seorang mukmin yang tenggorokannya dilewati oleh huruf-huruf Al Qur’an. Tentu tenggorokan tersebut lebih baik dari tenggorokan-tenggorokan lainnya. Satu hurufnya saja diberi insentif ukhrâwi berupa sepuluh kebaikan. Ada berapa huruf di dalamnya. Telinga yang mendengarkannya, lebih baik dari telinga yang menjauh darinya. Mata yang membacanya, lebih baik dari mata yang menghindarinya. Dan mata ini menjadi akumulasi ketiganya… ia meneteskan air mata karena mendengarkan, melihat dan membacanya. Air mata kesyahduan. Ada ketakutan di sana. Ada pengharapan. Ada kenikmatan. Ada seribu ada, tak terungkap dengan kata-kata. Sungguh, tetesan itu hanya dinikmati oleh mereka yang sanggup meneteskan air mata; sedang orang disekelilingnya keheranan mengapa hal itu bisa terjadi.

Itulah kenikmatan bersentuhan dengan keberkahan. Bagaimana seorang mukmin yang seluruh hidupnya selalu bersentuhan dengan Al Qur’an. Dadanya menjaga dan menghafalnya. Perilakunya mencerminkan keberkahan itu. Sungguh, orang seperti ini lebih baik dari seribu orang yang tak pernah bersentuhan dengan keberkahan itu.

Buah yang Manis dan Harum

Kedekatan dengan al-Qur’an juga akan memuliakan kedudukan seorang mukmin, sebagaimana Allah muliakan malam yang bersentuhan dengan kalam-Nya.

Abu Musa al Asy’ari meriwayatkan sabda Rasulullah Saw. “Perumpamaan seorang mukmin yang membaca Al Qur’an seperti buah Utrujjah, baunya harum dan rasanya enak. Sedang orang mukmin yang tak suka membaca Al Qur’an bagaikan buah Tamr, tak ada baunya dan rasanya manis….” (HR. Bukhari Muslim)

Maka di bulan ini selaiknya lah seorang mukmin memiliki komitmen untuk semakin mendekat dengan al-Qur’an. Bagi yang belum bisa membacanya, setidaknya ia berusaha dan belajar untuk mampu membacanya. Bagi yang sudah bisa membacanya, ia akan memasang target untuk bisa membaca lebih banyak dari hari-hari sebelum Ramadan. Jika ia sudah terbiasa maka ia pun akan menaikkan target menjadi mengkhatamkannya di bulan ini. Sekali, dua kali atau lebih dari itu. Yang lain berusaha untuk menadabburinya. Yang lainnya juga mendermakan kemampuannya untuk mengajarkan al-Qur’an. Itulah syiar yang dimiliki umat Islam dan laik untuk dibanggakan. Karena ia akan menjadi harum dan wangi serta manis rasanya, bagaikan buah Utrujah (sejenis Jeruk Sankis).

Malam Kemuliaan dan Keberkahan

Menurut berbagai riwayat malam keberkahan tersebut terjadi di sepuluh hari terakhir ini, di etape terakhir madrasah pembekalan ini. Ibunda Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq ra. meriwayatkan sabda Rasulullah, ”Carilah lailatul qadr pada hari-hari ganjil di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan” (HR. Bukhari Muslim)

Pada sepuluh hari terakhir, Rasulullah Saw. meningkatkan ibadahnya melebihi 20 hari yang telah lewat. Ali bin Abi Thalib ra. meriwayatkan, “Rasulullah Saw. ketika telah memasuki sepuluh hari terakhir mengencangkan sarung dan membangunkan keluarganya” (HR.Ahmad)

Kegigihan Rasulullah Saw. hendak memberi contoh kepada kita betapa siapapun dia, jika tak menggunakan peluang ini akan sangat merugi dan menyesal di kemudian hari. Apakah dia telah memiliki tabungan yang banyak sehingga ia malas menggunakan peluang yang sulit terulang lagi. Karena tak ada jaminan hal ini akan didapatinya di tahun depan. Semuanya serba ghaib. Atau bagi mereka yang hari-hari sebelumnya penuh dengan kekhilafan dan dosa serta kelalaian. Saat inilah kebangkitan hakiki itu.

Pemburu seribu bahkan tiga puluh ribu keberkahan…

Syeikh Mubarakfuri dalam buku Bigografi Nabi Muhammad yang berjudul ar-Rahîq al-Makhtûm, mempunyai analisis yang bagus, berkenaan dengan malam keberkahan tersebut. Di hari ke berapakah Al Qur’an turun pertama kali kepada Rasulullah Saw.?

Suatu ketika Rasulullah Saw. ditanya, mengapa beliau sering berpuasa pada hari Senin. Beliau menjawab karena pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu aku menerima wahyu dari Allah untuk pertama kali.

Sudah menjadi kesepakatan ulama, bahwa al Qu’ran diturunkan pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang dinashkan Al Qur’an dan Hadits. Allah telah mengabadikan hal itu “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”. (QS. 2:185). Berikutnya Allah menegaskan lagi, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan”. (QS. 44:3)

Pada bulan Ramadhan tahun itu, hari Senin terulang sebanyak empat kali. Yaitu pada tanggal ke 7, 14, 21, dan 28. Dalam hadits-hadits nabawi dianjurkan untuk mencari lailatul qadr pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Bahkan ada yang lebih spesifik lagi, yaitu pada hari-hari ganjil. Dengan demikian, lailatul qadr terjadi pada malam ke 21. Karena 7, 14 dan 28 tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang disebutkan dalam gabungan hadits-hadits yang ada. Lantas benarkah, malam keberkahan tersebut terjadi pada hari itu. Allahu a’lam. Sangat banyak pendapat yang mengatakannya. Ada yang menjadikan bulan Ramadhan secara umum. Ada yang mengkhususkan pada sepuluh hari terakhir. Ada yang mengkhususkan lagi pada hari-hari ganjil di sepuluh hari tersebut. Ada yang berpendapat pada hari 27. Dan seterusnya.

Rahasia Keberkahan Itu

Mengapa Allah merahasiakan malam keberkahan tersebut? Sungguh hikmah Allah Swt. demi keseriusan hamba-hamba-Nya dalam berusaha. Kesungguhan dalam mencari malam keberkahan tersebut. Seandainya hijab tersebut dibuka dan malam tersebut diketahui siapa saja, kemungkinan besar hari-hari dan malam-malam lain akan ditinggalkan oleh mereka yang malas. Karena demikianlah tabiat manusia. Kikir dan malas berusaha serta sangat ingin menerima lebih banyak dari yang seharusnya.

Kesungguhan beribadah pada malam keberkahan tersebut tak lain adalah pemaknaan kepasrahan yang dalam dari seorang hamba yang menyerahkan segala-Nya pada Sang Pencipta.

Penghambaan yang terefleksi dalam kesungguhan beribadah dan totalitas penjiwaan di dalamnya. Ada kekhusyukan. Ada ketakutan. Ada pengharapan.

Kepasrahan dalam menerima cinta dan kasih sayang-Nya serta berharap atas keampunan-Nya terhadap kekhilafan manusiawi yang dilakukannya.

Masihkah setelah ini ada keraguan? Atau bahkan keputusasaan?

Sungguh, saatnya sekarang inilah bagi kita untuk memburu hari pembebasan kita dari kemurkaan dan kemarahan Allah. Karena kita telah memiliki cinta-Nya. Yakinlah itu. Kita sedang memburu ampunan-Nya. Dan kemudian pembebasan itu benar-benar diberikan kepada kita. Saatnya sudah dekat. Jangan kita jauhkan dengan kelalaian, kesalahan bersikap, keteledoran dan berbagai kebodohan. “Wahai pemburu kebaikan gunakan kesempatan ini, wahai para pendosa berhentilah”.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan”. (QS. 55:13)

Wisma Appia, Sabtu Siang

Jenewa, 21.08.2010


*Sebuah kado peringatan Nuzulul Qur’an di Jenewa yang diadakan di Ruang Nusantara, PTRI Jenewa, Sabtu, 18 Ramadan 1431 H/ 28 Agustus 2010 M.

** Mahasiswa Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu al-Qur’an, Universitas Al-Azhar, Cairo.